SUARA HALUS DARI PULO: Mendengar Kehidupan yang Tidak Pernah Tergesa di Kampung Pulo, Garut (preorder)
Author : Tiar Mutiara Shantiuli & Catur Sugiyanto
Publisher : UNS Press
Harga : Rp 0
ISBN : -
Bulan / Tahun Terbit : November / 2025
Jumlah Halaman : 196 halaman
Panjang x Lebar Buku : 16 x 25 cm
Kertas : HVS (70 gsm) & Digital (PDF)
Judul Buku : SUARA HALUS DARI PULO: Mendengar Kehidupan yang Tidak Pernah Tergesa di Kampung Pulo, Garut (preorder)
Author : Tiar Mutiara Shantiuli & Catur Sugiyanto
Publisher : UNS Press
Harga : Rp 0
ISBN : -
Bulan / Tahun Terbit : November / 2025
Jumlah Halaman : 196 halaman
Panjang x Lebar Buku : 16 x 25 cm
Kertas : HVS (70 gsm) & Digital (PDF)
Sinopsis :
Alasan utama penulisan buku ini adalah semakin kuatnya tekanan modernisasi terhadap komunitas adat di berbagai daerah. Pembangunan pariwisata, infrastruktur, dan industri kreatif sering kali hadir dengan membawa janji kesejahteraan, tetapi di sisi lain mengancam keberlanjutan nilai budaya. Kampung Pulo dipilih sebagai studi kasus karena keunikannya: komunitas kecil dengan tujuh bangunan adat, tata ruang sakral yang terjaga, serta ritual-ritual seperti Rebo Wekasan dan Jamasan pusaka yang masih dipertahankan. Kampung Pulo bukan hanya situs arkeologi yang terkait dengan Candi Cangkuang, tetapi juga ruang hidup di mana masyarakat bernegosiasi dengan perubahan. Komunitas ini menolak pembangunan homestay, mengatur akses wisata, dan mengembangkan strategi dokumentasi digital melalui generasi muda. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan korban pasif modernitas, melainkan aktor aktif yang memiliki agensi politik. Buku ini memberi kontribusi pada beberapa perdebatan akademik penting: 1. Cultural Survival Theory diperkaya dengan konsep resistensi adaptif, yaitu strategi komunitas untuk bertahan dengan cara menyeleksi bentuk perubahan yang sesuai dengan nilai mereka. 2. Heritage Politics diperluas melalui analisis kontestasi horizontal—bukan hanya negara vs komunitas, tetapi juga antar generasi, gender, dan internal komunitas. 3. Living Heritage dipahami tidak hanya sebagai tradisi yang hidup, tetapi juga sebagai strategi politik untuk melindungi ruang dan identitas. 4. Strategic Essentialism diperluas cakupannya: identitas adat tidak hanya disederhanakan untuk kepentingan eksternal, tetapi juga digunakan untuk negosiasi internal. Dengan integrasi keempat teori tersebut, penulis menawarkan Model Jalan Tengah, yang dapat diuji dan diterapkan pada komunitas adat lain di Indonesia maupun dunia. Model ini menolak dikotomi “tradisi vs modernisasi” dan menggantinya dengan paradigma sintesis.
Author : Tiar Mutiara Shantiuli & Catur Sugiyanto
Publisher : UNS Press
Harga : Rp 0
ISBN : -
Bulan / Tahun Terbit : November / 2025
Jumlah Halaman : 196 halaman
Panjang x Lebar Buku : 16 x 25 cm
Kertas : HVS (70 gsm) & Digital (PDF)
Sinopsis :
Alasan utama penulisan buku ini adalah semakin kuatnya tekanan modernisasi terhadap komunitas adat di berbagai daerah. Pembangunan pariwisata, infrastruktur, dan industri kreatif sering kali hadir dengan membawa janji kesejahteraan, tetapi di sisi lain mengancam keberlanjutan nilai budaya. Kampung Pulo dipilih sebagai studi kasus karena keunikannya: komunitas kecil dengan tujuh bangunan adat, tata ruang sakral yang terjaga, serta ritual-ritual seperti Rebo Wekasan dan Jamasan pusaka yang masih dipertahankan. Kampung Pulo bukan hanya situs arkeologi yang terkait dengan Candi Cangkuang, tetapi juga ruang hidup di mana masyarakat bernegosiasi dengan perubahan. Komunitas ini menolak pembangunan homestay, mengatur akses wisata, dan mengembangkan strategi dokumentasi digital melalui generasi muda. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan korban pasif modernitas, melainkan aktor aktif yang memiliki agensi politik. Buku ini memberi kontribusi pada beberapa perdebatan akademik penting: 1. Cultural Survival Theory diperkaya dengan konsep resistensi adaptif, yaitu strategi komunitas untuk bertahan dengan cara menyeleksi bentuk perubahan yang sesuai dengan nilai mereka. 2. Heritage Politics diperluas melalui analisis kontestasi horizontal—bukan hanya negara vs komunitas, tetapi juga antar generasi, gender, dan internal komunitas. 3. Living Heritage dipahami tidak hanya sebagai tradisi yang hidup, tetapi juga sebagai strategi politik untuk melindungi ruang dan identitas. 4. Strategic Essentialism diperluas cakupannya: identitas adat tidak hanya disederhanakan untuk kepentingan eksternal, tetapi juga digunakan untuk negosiasi internal. Dengan integrasi keempat teori tersebut, penulis menawarkan Model Jalan Tengah, yang dapat diuji dan diterapkan pada komunitas adat lain di Indonesia maupun dunia. Model ini menolak dikotomi “tradisi vs modernisasi” dan menggantinya dengan paradigma sintesis.