Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Waluyo, S.H., M.Si.
Judul Buku : Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Waluyo, S.H., M.Si., "MODEL KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN BERBASIS GREEN BUDGETING GUNA MEWUJUDKAN PERBANGUNAN BERKELANJUTAN DI DAERAH" (preorder)
Author : Prof. Dr. Waluyo, S.H., M.Si.
Publisher : UNS Press
Bulan / Tahun Terbit : Agustus / 2025
Panjang x Lebar Buku : 14,8 x 21 cm
Kertas : Digital (PDF)
ABSTRACT SINGKAT :
Isu lingkungan hidup merupakan dimensi krusial dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yang menuntut perhatian serius, baik di negara maju maupun berkembang. Sebagai agenda global SDGs, yang disepakati oleh lebih dari 190 negara dan terdiri atas 17 tujuan dan 169 target pembangunan yang saling terkait. SDGs juga menjadi koreksi atas pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata yang memicu eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali menjadi pembangunan yang bertumpu pada pilar ekonomi, sosial, dan ekologi. Visi pembangunan nasional Indonesia tahun 2025–2045 adalah “Terwujudnya Negara Kesatuan Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan.” Berkelanjutan merujuk pada pembangunan yang berimbang antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk memastikan kesejahteraan masa kini dan masa depan Indonesia. Ini berarti pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan dampak sosial dan lingkungan, serta memastikan keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi mendatang. Terwujudnya Pembangunan berkelanjutan tersebut diperlukan kebijakan berupa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta sistem penganggaran yang memprioritaskan unsur kelestarian lingkungan dalam penyusunan, implementasi, pengawasan sampai evaluasi dalam belanja pemerintah dan juga pendapatan yang mendukungnya. Sistem penganggaran seperti ini diberbagai negara lazim disebut Green Budgeting (anggaran hijau) dan di Indonesia menggunakan istilah anggaran berbasis lingkungan hidup (ABLH). Secara normatif ABLH diatur dalam Pasal 45 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Secara singkat Pasal 45 tersebut mewajibkan Pemerintah dan DPRRI serta Pemerintah Daerah dan DPRD untuk mengalokasikan anggaran yang memadai guna membiayai: a) kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan b) program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Pengaturan ABLH dimaksudkan agar tersedia anggaran yang memadai guna keg PPLH dan program Pembangunan berkelanjutan baik dalam APBN maupun APBD. Di daerah PPLH ini menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup Namun karena pengaturan ABLH bersifat kualitatif maka implementasi di beberapa daerah besaran ABLH masih bervariasi, misalnya: 1) Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2024, realisasi anggaran untuk urusan lingkungan hidup sebesar Rp19.396.579.143,- dari total belanja daerah senilai Rp2.480.302.422.553,- atau hanya (0,78%); 2) Kabupten Boyolali Tahun 2022 sebesar 1,53% dari total anggaran Rp2.471.827.499.489,-, Tahun 2023 sebesar 1,63% dari total anggaran Rp2.433.805.255.445,- dan Tahun 2024 sebesar 1,1% dari totak anggaran Rp2.418.557.655.103,-; 3) Kabupaten Wonogiri Tahun 2024, anggaran urusan lingkungan hidup sebesar Rp13.120.446.435,00 atau hanya 0,54% dari total belanja daerah; dan 4) Kabupten Ngawi Provinsi Jawa Timur dalam 4 tahun terakhir anggaran untuk urusan lingkungan hidup adalah: tahun 2021 sebesar 0,99%, tahun 2022 sebesar 0,99%, tahun 2023 sebesar 1,12%, dan tahun 2024 sebesar 0,79% dari total belanja Daerah. Dimana total anggaran Kabupaten Ngawi adalah Rp2.294.020.887.886,00 tahun 2021, Rp2.422.622.760,00 tahu 2022, Rp1.443.558.903.436,00 tahun 2023 dan Rp2.557.686.826.635,00 tahun 2024. Berangkat dari kondisi tersebut, diperlukan model pembaruan terhadap mekanisme dan pendekatan penganggaran dalam ABLH agar kegiatan PPLH dan program pembangunan berkelanjutan terselenggara secara efektif. Model pembaruan ABLH adalah dengan menggabungkan 2 pendekatan yaitu bebasis aktivitas dan proposisi nilai. Pertama, Pendekatan berbasis aktivitas dengan mengacu 4 elemen fundamental, yaitu: (1) pengintegrasian kepentingan lingkungan dan pembangunan melalui keterpaduan kebijakan, perencanaan, dan manajemen pada setiap tingkatan pemerintahan; (2) penyediaan seperangkat aturan yang jelas dan perumusan kerangka hukum yang efektif; (3) memastikan bahwa penggunaan instrumen ekonomi dan pasar berikut insentif yang terpilih dapat efektif, sesuai dan sejalan dengan kepentingan lingkungan hidup; dan (4) membangun sistem akuntansi lingkungan dan ekonomi secara terpadu. Kedua, pendekatan berbasis proposisi nilai dilakukan dengan valuasi ABLH, yaitu merumuskan indikator-indikator yang diperlukan dalam menentukan kebijakan berikut pranata evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan yang terukur dalam proses penganggaran. Indikator utama dalam menentukan besaran anggaran adalah urusan bidang lingkungan hidup yang menjadi kewenangan Daerah dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan lingkungan yang dihadapi di daerah. Output dari pendekatan ini dapat berupa: penentuan prosentase alokasi ABLH dalam APBD, ekstensifikasi Belanja sektor Lingkungan Hidup, atau memasukkan “Indikator LH” sebagai salah satu asumsi dasar ekonomi mikro dalam penyusunan APBD. Guna terwujudnya pembaharuan tersebut disarnkan kepada: 1) Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Lingkunga Hidup untuk secara bersama merumuskan kebijakan sebagai NSPK bagi Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan ABLH, yang berisi bentuk program/kegiatan, tahapan, desain, mekanisme, dan mata anggaran beserta indicator-indikator lain yang berhubungan dengan upaya PPLH; 2) Kemmendagri dalam fungsinya sebagai Kementerian yang berwenang melakukan pembinaan penyelenggaraan Pemerintahan Daaerah supaya dalam menetapkan Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi RKPD, dan Pedoman Penyusunan APBD tiap tahunnya mengkaitkan kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk memasukkan program/kegiatan sebagai upaya PPLH dalam RKPD dan memprioritaskan belanja daerah guna membiayai program/kegiatan dalam rangka PPLH dalam APBD.
Author : Prof. Dr. Waluyo, S.H., M.Si.
Publisher : UNS Press
Bulan / Tahun Terbit : Agustus / 2025
Panjang x Lebar Buku : 14,8 x 21 cm
Kertas : Digital (PDF)
ABSTRACT SINGKAT :
Isu lingkungan hidup merupakan dimensi krusial dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yang menuntut perhatian serius, baik di negara maju maupun berkembang. Sebagai agenda global SDGs, yang disepakati oleh lebih dari 190 negara dan terdiri atas 17 tujuan dan 169 target pembangunan yang saling terkait. SDGs juga menjadi koreksi atas pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata yang memicu eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali menjadi pembangunan yang bertumpu pada pilar ekonomi, sosial, dan ekologi. Visi pembangunan nasional Indonesia tahun 2025–2045 adalah “Terwujudnya Negara Kesatuan Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan.” Berkelanjutan merujuk pada pembangunan yang berimbang antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk memastikan kesejahteraan masa kini dan masa depan Indonesia. Ini berarti pembangunan tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan dampak sosial dan lingkungan, serta memastikan keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi mendatang. Terwujudnya Pembangunan berkelanjutan tersebut diperlukan kebijakan berupa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta sistem penganggaran yang memprioritaskan unsur kelestarian lingkungan dalam penyusunan, implementasi, pengawasan sampai evaluasi dalam belanja pemerintah dan juga pendapatan yang mendukungnya. Sistem penganggaran seperti ini diberbagai negara lazim disebut Green Budgeting (anggaran hijau) dan di Indonesia menggunakan istilah anggaran berbasis lingkungan hidup (ABLH). Secara normatif ABLH diatur dalam Pasal 45 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Secara singkat Pasal 45 tersebut mewajibkan Pemerintah dan DPRRI serta Pemerintah Daerah dan DPRD untuk mengalokasikan anggaran yang memadai guna membiayai: a) kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan b) program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Pengaturan ABLH dimaksudkan agar tersedia anggaran yang memadai guna keg PPLH dan program Pembangunan berkelanjutan baik dalam APBN maupun APBD. Di daerah PPLH ini menjadi tanggung jawab Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup Namun karena pengaturan ABLH bersifat kualitatif maka implementasi di beberapa daerah besaran ABLH masih bervariasi, misalnya: 1) Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2024, realisasi anggaran untuk urusan lingkungan hidup sebesar Rp19.396.579.143,- dari total belanja daerah senilai Rp2.480.302.422.553,- atau hanya (0,78%); 2) Kabupten Boyolali Tahun 2022 sebesar 1,53% dari total anggaran Rp2.471.827.499.489,-, Tahun 2023 sebesar 1,63% dari total anggaran Rp2.433.805.255.445,- dan Tahun 2024 sebesar 1,1% dari totak anggaran Rp2.418.557.655.103,-; 3) Kabupaten Wonogiri Tahun 2024, anggaran urusan lingkungan hidup sebesar Rp13.120.446.435,00 atau hanya 0,54% dari total belanja daerah; dan 4) Kabupten Ngawi Provinsi Jawa Timur dalam 4 tahun terakhir anggaran untuk urusan lingkungan hidup adalah: tahun 2021 sebesar 0,99%, tahun 2022 sebesar 0,99%, tahun 2023 sebesar 1,12%, dan tahun 2024 sebesar 0,79% dari total belanja Daerah. Dimana total anggaran Kabupaten Ngawi adalah Rp2.294.020.887.886,00 tahun 2021, Rp2.422.622.760,00 tahu 2022, Rp1.443.558.903.436,00 tahun 2023 dan Rp2.557.686.826.635,00 tahun 2024. Berangkat dari kondisi tersebut, diperlukan model pembaruan terhadap mekanisme dan pendekatan penganggaran dalam ABLH agar kegiatan PPLH dan program pembangunan berkelanjutan terselenggara secara efektif. Model pembaruan ABLH adalah dengan menggabungkan 2 pendekatan yaitu bebasis aktivitas dan proposisi nilai. Pertama, Pendekatan berbasis aktivitas dengan mengacu 4 elemen fundamental, yaitu: (1) pengintegrasian kepentingan lingkungan dan pembangunan melalui keterpaduan kebijakan, perencanaan, dan manajemen pada setiap tingkatan pemerintahan; (2) penyediaan seperangkat aturan yang jelas dan perumusan kerangka hukum yang efektif; (3) memastikan bahwa penggunaan instrumen ekonomi dan pasar berikut insentif yang terpilih dapat efektif, sesuai dan sejalan dengan kepentingan lingkungan hidup; dan (4) membangun sistem akuntansi lingkungan dan ekonomi secara terpadu. Kedua, pendekatan berbasis proposisi nilai dilakukan dengan valuasi ABLH, yaitu merumuskan indikator-indikator yang diperlukan dalam menentukan kebijakan berikut pranata evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan yang terukur dalam proses penganggaran. Indikator utama dalam menentukan besaran anggaran adalah urusan bidang lingkungan hidup yang menjadi kewenangan Daerah dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan lingkungan yang dihadapi di daerah. Output dari pendekatan ini dapat berupa: penentuan prosentase alokasi ABLH dalam APBD, ekstensifikasi Belanja sektor Lingkungan Hidup, atau memasukkan “Indikator LH” sebagai salah satu asumsi dasar ekonomi mikro dalam penyusunan APBD. Guna terwujudnya pembaharuan tersebut disarnkan kepada: 1) Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Lingkunga Hidup untuk secara bersama merumuskan kebijakan sebagai NSPK bagi Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan ABLH, yang berisi bentuk program/kegiatan, tahapan, desain, mekanisme, dan mata anggaran beserta indicator-indikator lain yang berhubungan dengan upaya PPLH; 2) Kemmendagri dalam fungsinya sebagai Kementerian yang berwenang melakukan pembinaan penyelenggaraan Pemerintahan Daaerah supaya dalam menetapkan Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi RKPD, dan Pedoman Penyusunan APBD tiap tahunnya mengkaitkan kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk memasukkan program/kegiatan sebagai upaya PPLH dalam RKPD dan memprioritaskan belanja daerah guna membiayai program/kegiatan dalam rangka PPLH dalam APBD.